Kata Lebak diambil dari kosakata bahasa Jawa yang diartikan sebagai 'lembah atau tanah rendah' (Poerwadarminto, 1976). Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan peternakan diistilahkan dengan sebutan lahan rawa lahan rawa lebak. Rawa lebak yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton. Karena kedudukannya yang menjorok masuk jauh dari muara laut/sungai besar, rawa lebak sering disebut juga dengan rawa pedalaman.
Beragam istilah digunakan untuk sebutan rawa lebak ini, misalnya di Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan disebut rawang atau lebung; di Riau dan sekitarnya disebut payo atau lumo; di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan baruh atau watun; di Kalimantan Timur disebut rapak atau kelan. Lebak yang mempunyai potensi tinggi sumber daya perikanan karena habitat lingkungannya yang masih terpelihara dengan baik disebut juga lubuk, sedangkan lahan rawa lebak yang ditumbuhi kumpai yang juga dikenal sebagai tempat pemijahan dan perkembangbiakan bagi berbagai ikan rawa (Prasetyo, 1994).
MacKinnon et al (2000) menyebut rawa lebak sebagai danau-danau dataran banjir yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai umumnya dan selalu mendapatkan luapan air (banjir) dari sungai-sungai besar sekitarnya seperti sungai Barito (Kalimantan Selatan), Kahayan (Kalimantan Barat), Kapuas (Kalimantan Tengah), Mahakam (Kalimantan Timur), Musi (Sumatera Selatan), Batanghari (Jambi), Mamberamo dan Tigul (Papua). Selain karena luapan sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat atau juga banjir kiriman. Genangan di lahan rawa lebak ini kadang-kadang bersifat ladung (stagnant) dan kalaupun mengalir, sangat lambat.
Lahan rawa lebak pada musim hujan tergenang karena membentuk cekungan (depression) dan pengatusan (drainage) jelek sehingga ditutupi tumbuhan air (marsh). Namun, pada musim kemarau kembali kering. Pada musim kemarau lahan ini banyak ditanami berbagai macam seperti tomat, cabai, sawi, selada, kacang panjang, jagung, dan lainnya lahan semacam ini di pulau Jawa sering disebut Bonorowo. Hanya saja yang disebut bonorowo di Jawa mempunyai lingkungan fisik dan ekologi yang berbeda dengan yang dimaksud dengan rawa lebak yang ada di Kalimantan, Sumatera, dan Papua.
Di dataran tinggi, lahan rawa lebak terletak antara dua bukit. Kondisi lahan selalu basah dan tumpat air (Waterlogged) dengan laju penimbunan bahan oeganik lebih besar daripada perombakannya. Oleh karena itu, terjadi akumulasi bahan organik (gambut) yang cukup tebal seperti didapati pada rawa lebak yang terletak di wilayah pegunungan kerinci (Jambi), pegunungan Dieng (Jawa Tengah), dan lainnya. Beberapa wilayah rawa lebak mengalami pengatusan permanen (setelah direklamasi) seperti di wilayah Sungai Aur, Kabupaten Pesaman Barat (Sumatera Barat) ; wilayah Lolo/Lempur, Kabupaten Kerinci (Jambi) ; wilayah rawa Mesuji atau rawa Jitu, Kabupaten Tulangbawang (Lampung Utara), dan rawa Sragi di Lampung Timur sehingga menyerupai lahan tadah hujan (rainfed lowland). Lahan-lahan seperti ini boleh dikatakan sebagai rawa lebak yang kehilangan identitasnya. Lahan semacam ini semestinya tidak lagi dikategorikan sebagai lahan rawa lebak, lebih tepat disebut tadah hujan walaupun mempunyai lapisan bahan organik yang tinggi (gambut) dan profil tanah mencirikan tanah rawa umumnya.
Rawa lebak dibedakan dengan rawa pasang surut karena mempunyai bentuk fisiografi (landform), penyebaran, dan sifat serta watak yang berbeda. Lahan rawa pasang surut umumnya mempunyai topografi datar dan pengaruh luapan pasang surut air laut lebih kuat atau sama kuat dengan luapan air sungai. Luapan terhadap wilayahnya pada lahan rawa pasang surut sangat jelas dan kuat dengan periode pasang tunggal (spring tide) dan pasang ganda (nead tide) yang bersifat tetap menurut peredaran bulan. Sebalinya, lahan rawa lebak mempunyai topografi berupa cekungan dan merupakan dataran banjir dengan masa genangan lebih panjang. Pengaruh arus panjang surut dari laut sangat lemah bahkan hampir nihil. Ketentuan umum untuk sebagai rawa lebak adalah apabila genangan air minimal 50 cm dan lamanya genangan minimal tiga bulan. Sementara itu, genangan di lahan rawa pasang surut hanya 1-2 meter dan berlangsung antara 3-4 jam, yaitu saat terjadi pasang besar (pasang purnama), kecuali yang termasuk tipe luapan A yang merupakan daerah pinggir sungai. Wilayah tipe luapan A ini meliputi wilayah dengan radius antara 60-100 km dari pinggir sungai sehingga selalu terluapi baik pada pasang tunggal maupun pasang ganda.
Dalam konteks yang lebih luas, lahan rawa lebak juga sering dikelompokan sebagai Wetland, lowland, peatland, inland, deepwater land (Mitsch dan Gosselink, 1993). Masing-masing istilah diatas pada dasarnya mencoba memberikan gambaran keadaan lingkungan fisik atau ekologi rawa lebak secara umum dalam konteks lahan basah yang sangat beragam dan rumit. Sebutan wetland untuk menunjukan bahwa wilayah ini selalu basah dengan curah hujan > 2.000 mm per tahun dan memiliki 6-7 bulan basah serta ditumbuhi vegetasi rumput, tanaman air/aquatik/hidrofitik (marsh) dalam kondisi selalu tergenang (Swamps).
sumber : Noor, M.S. Muhammad, Dr, Ir."RAWA LEBAK : Ekologi, Pemanfaatan, dan perkembangannya".2007. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Beragam istilah digunakan untuk sebutan rawa lebak ini, misalnya di Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan disebut rawang atau lebung; di Riau dan sekitarnya disebut payo atau lumo; di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan baruh atau watun; di Kalimantan Timur disebut rapak atau kelan. Lebak yang mempunyai potensi tinggi sumber daya perikanan karena habitat lingkungannya yang masih terpelihara dengan baik disebut juga lubuk, sedangkan lahan rawa lebak yang ditumbuhi kumpai yang juga dikenal sebagai tempat pemijahan dan perkembangbiakan bagi berbagai ikan rawa (Prasetyo, 1994).
MacKinnon et al (2000) menyebut rawa lebak sebagai danau-danau dataran banjir yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai umumnya dan selalu mendapatkan luapan air (banjir) dari sungai-sungai besar sekitarnya seperti sungai Barito (Kalimantan Selatan), Kahayan (Kalimantan Barat), Kapuas (Kalimantan Tengah), Mahakam (Kalimantan Timur), Musi (Sumatera Selatan), Batanghari (Jambi), Mamberamo dan Tigul (Papua). Selain karena luapan sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat atau juga banjir kiriman. Genangan di lahan rawa lebak ini kadang-kadang bersifat ladung (stagnant) dan kalaupun mengalir, sangat lambat.
Lahan rawa lebak pada musim hujan tergenang karena membentuk cekungan (depression) dan pengatusan (drainage) jelek sehingga ditutupi tumbuhan air (marsh). Namun, pada musim kemarau kembali kering. Pada musim kemarau lahan ini banyak ditanami berbagai macam seperti tomat, cabai, sawi, selada, kacang panjang, jagung, dan lainnya lahan semacam ini di pulau Jawa sering disebut Bonorowo. Hanya saja yang disebut bonorowo di Jawa mempunyai lingkungan fisik dan ekologi yang berbeda dengan yang dimaksud dengan rawa lebak yang ada di Kalimantan, Sumatera, dan Papua.
Di dataran tinggi, lahan rawa lebak terletak antara dua bukit. Kondisi lahan selalu basah dan tumpat air (Waterlogged) dengan laju penimbunan bahan oeganik lebih besar daripada perombakannya. Oleh karena itu, terjadi akumulasi bahan organik (gambut) yang cukup tebal seperti didapati pada rawa lebak yang terletak di wilayah pegunungan kerinci (Jambi), pegunungan Dieng (Jawa Tengah), dan lainnya. Beberapa wilayah rawa lebak mengalami pengatusan permanen (setelah direklamasi) seperti di wilayah Sungai Aur, Kabupaten Pesaman Barat (Sumatera Barat) ; wilayah Lolo/Lempur, Kabupaten Kerinci (Jambi) ; wilayah rawa Mesuji atau rawa Jitu, Kabupaten Tulangbawang (Lampung Utara), dan rawa Sragi di Lampung Timur sehingga menyerupai lahan tadah hujan (rainfed lowland). Lahan-lahan seperti ini boleh dikatakan sebagai rawa lebak yang kehilangan identitasnya. Lahan semacam ini semestinya tidak lagi dikategorikan sebagai lahan rawa lebak, lebih tepat disebut tadah hujan walaupun mempunyai lapisan bahan organik yang tinggi (gambut) dan profil tanah mencirikan tanah rawa umumnya.
Rawa lebak dibedakan dengan rawa pasang surut karena mempunyai bentuk fisiografi (landform), penyebaran, dan sifat serta watak yang berbeda. Lahan rawa pasang surut umumnya mempunyai topografi datar dan pengaruh luapan pasang surut air laut lebih kuat atau sama kuat dengan luapan air sungai. Luapan terhadap wilayahnya pada lahan rawa pasang surut sangat jelas dan kuat dengan periode pasang tunggal (spring tide) dan pasang ganda (nead tide) yang bersifat tetap menurut peredaran bulan. Sebalinya, lahan rawa lebak mempunyai topografi berupa cekungan dan merupakan dataran banjir dengan masa genangan lebih panjang. Pengaruh arus panjang surut dari laut sangat lemah bahkan hampir nihil. Ketentuan umum untuk sebagai rawa lebak adalah apabila genangan air minimal 50 cm dan lamanya genangan minimal tiga bulan. Sementara itu, genangan di lahan rawa pasang surut hanya 1-2 meter dan berlangsung antara 3-4 jam, yaitu saat terjadi pasang besar (pasang purnama), kecuali yang termasuk tipe luapan A yang merupakan daerah pinggir sungai. Wilayah tipe luapan A ini meliputi wilayah dengan radius antara 60-100 km dari pinggir sungai sehingga selalu terluapi baik pada pasang tunggal maupun pasang ganda.
Dalam konteks yang lebih luas, lahan rawa lebak juga sering dikelompokan sebagai Wetland, lowland, peatland, inland, deepwater land (Mitsch dan Gosselink, 1993). Masing-masing istilah diatas pada dasarnya mencoba memberikan gambaran keadaan lingkungan fisik atau ekologi rawa lebak secara umum dalam konteks lahan basah yang sangat beragam dan rumit. Sebutan wetland untuk menunjukan bahwa wilayah ini selalu basah dengan curah hujan > 2.000 mm per tahun dan memiliki 6-7 bulan basah serta ditumbuhi vegetasi rumput, tanaman air/aquatik/hidrofitik (marsh) dalam kondisi selalu tergenang (Swamps).
sumber : Noor, M.S. Muhammad, Dr, Ir."RAWA LEBAK : Ekologi, Pemanfaatan, dan perkembangannya".2007. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
No comments:
Post a Comment